
Oleh Thomas A Edison
Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah kini telah tiba, suasana bulan suci Ramadhan yang baru saja berlalu masih melekat di hati, terlebih bagi yang telah lulus dalam menjalankan ibadah puasa. Namun, tak sedikit orang yang mengartikan Fitri itu adalah suci sehingga di antaranya ada beranggapan bahwa setelah Fitri, maka akan kembali kepada pola hidup di luar Ramadhan mengumbar nafsu dengan berfoya-foya bahkan lupa terhadap kewajiban setelah Ramadhan.
Dengan keterbatasan pengetahuan, tak jarang membuat orang salah langkah, baik dalam bersikap maupun di saat mengeluarkan pendapat. Demikian pula halnya dengan idul Fitri, yang kebanyakan orang mengartikan dengan hari raya suci, setelah dilebur selama Ramadhan.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa, orang yang telah menjalankan puasa dalam bulan Ramadhan, dirinya akan kembali suci sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Sebaiknya, setelah Ramadhan kita harus melakukan introspeksi diri terhadap perilaku kita di bulan Ramadhan. Yang menjadi pertanyaan, mampukah kita melakukan ibadah sebaik di bulan itu?
Bahkan mungkin ada sebagian orang mengartikan, bahwa idul Fitri adalah kembali kepada hakikat penciptaan. Dengan kata lain, kita harus mampu membuat diri suci sebagaimana bayi yang baru dilahirkan, tentunya dengan meningkatkan ibadah.
Dalam bulan Ramadhan kita seolah berada dalam karantina sebuah lembaga pendidikan jasmani dan rohani. Dimana perilaku manusia pada umunya tidak berlaku, kita di tuntut untuk patuh kepada apa yang telah ditetapkan dalam kitab undang-undang dan peraturan baku, yakni Alquran.
Dimana dalam karantina tersebut kita harus mampu mengendalikan diri, konsekuen dan konsisten terhadap peraturan dan perilaku yang telah dibakukan. Oleh karenanya, kita tidak dapat berbuat semaunya, untuk itu sangat dibutuhkan kesiapan fisik dan mental.
Dalam bulan Ramadhan, selain ditunut mampu menahan lapar dan haus, kita juga di tuntut mampu mengendalikan diri yang ditimbulkan oleh hawa nafsu duniawi, yakni mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan pada umumnya. Oleh karena kita dituntut harus mampu mengendalikan diri dalam hal kesabaran, disiplin waktu, ekonom dan larangan – larangan.
Dalam segala hal, kita selalu di tuntut untuk sadar diri dengan kata lain bersedia melakukan introspeksi. Introspeksi tidak hanya dilakukan terhadap perilaku dalam ibadah, namun yang lebih penting adalah melakukan introspeksi terhadap tanggung jawab yang dibebankan kepada kita.
Contoh nyata yang berlaku dewasa ini adalah banyak terjadinya penyimpangan tanggung jawab yang dilakukan oleh oknum para pejabat negeri ini. Mulai dari penyimpangan terhadap peraturan dan perundang -undangan sampai dengan penyimpangan penyalahgunaan jabatan.
Oleh karena itu, setelah idul Fitri para pejabat di negeri ini patut melakukan introspeksi diri terhadap jabatannya. Untuk itu dia harus mampu bertanya kepada diri sendiri, sudahkah saya melaksanakan tanggungjawab saya kepada rakyat?
Karena pada prakteknya, tidak sedikit para pejabat di pemerintahan yang lupa diri terhadap janjinya, lupa terhadap para pahlawannya dan lupa terhadap kebenaran. Buktinya, masih banyak yang dengan leluasa melakukan pelanggaran -pelanggaran yang sebenarnya dia tahu dan mengerti apa yang ia lakukan.
Masih banyak para pejabat yang lebih takut kepada jabatannya, ketimbang Tuhan atau kebenaran. Lebih takut kepada golongannya ketimbang kepada rakyat yang telah memberi kepercayaan kepadanya. Untuk itu, para pemimpin kita harus mampu menjadikan hari-harinya sebagaimana hari-hari di bulan Ramadhan. Fitri bukan sekedar suci, tapi harus intropeksi diri dari sifat angkara murka dan tamak.